Karakateristik Siswa Usia Madarasah Ibtidaiyah dan Implikasinya dalam Pembelajaran SKI


Karakateristik Siswa Usia Madarasah Ibtidaiyah
Piaget memandang bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun pengetahuan dan pemahamannya mengenai realitas. Piaget percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang menurut tahap-tahap atau periode-periode yang terus bertambah kompleks. Menurut teori tahapan Piaget, setiap individu akan melewati serangkaian perubahan kualitatif yang bersifat invariant, selalu tetap, tidak melompat atau mundur. Perubahan kualitatif ini terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkunagn serta adanya pengorganisasian struktur berfikir.
Perkembangan kognisi atau intelektual anak berjalan secara gradual, bertahap dan berkelanjutan seiring bertambahnya umur. Rerata umum perkembangan kognisi anak adalah usia siswa MI yang berkisar antara 6-13 tahun dari mulai kelas satu sampai 6.
Anak tidak hanya belajar lantaran dorongan internal yang mereka miliki dan kemampuan kognitif yang mengandalkan kerja dua belah otak. Anak juga belajar banyak dari faktor-faktor ekternal. Faktor-faktor itu bisa berupa stimuli dari luar dirinya. Menurut Bandura, anak usia tingkat Madrasah Ibtidaiyah cenderung belajar dari atau dengan cara pemodelan, yaitu menyesuaikan atau mencontoh perilaku orang lain. Melalui interaksi sosial seorang anak dapat belajar melalui pengamatan. Pengamatan sebagai alat pembelajaran tertuju pada suatu model.
Vygotsky menunjukkan bahwa anak-anak belajar sesuatu lebih disebabkan oleh sosiokultur yang melingkupi si anak Vygotsky juga berpendapat bahwa proses belajar terjadi secara efisien dan efektif karena si anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain disuasana lingkungan yang mendukung, dalam bimbingan atau pendampingan seseorang yang lebih mampu atau lebih dewasa, misalnya seorang guru atau kakak kelas.

Implikasi Karakteristik Siswa Usia MI dalam Pembelajaran SKI
Karakteristik peserta didik beserta dengan keseragaman dan keragaman baik ditinjau dari sisi psikologi, sosial, dan neurofisik menuntut adanya pola baru dalam pembelajaran. Tuntutan itu mulai dari perubahan paradigma pendidikan dari teacher centered ke learner centered, yaitu penempatan peserta didik sebagai pusat orbit pembelajaran. Oleh karena itu, guru yang harus proaktif dan kreatif menyesuaikan diri dengan anak didiknya. Perubahan paradigma ini tidak mengurangi peran guru dalam pembelajaran. Bahkan peran guru bisa bertambah besar tanpa mengurangi aktivitas peserta didik di kelas. Guru tidak lagi hanya menyampaikan materi beserta maknanya kepada peserta didik tetapi dia meminta peserta didik untuk terlibat aktif menentukan makna dari yang mereka pelajari sesuai dengan perkembangan intelektual, emosional, dan sosial mereka. Di samping itu, karakteristik peserta didik yang begitu beragam dan berkembang menuntut adanya beragam implimentasi dalam model pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam model pembelajaran yang bisa menfasilitasi mereka mengembangkankan pengetahuan dan kepribadiannya.
Model pembelajaran merupakan unsur yang paling luas. Ia seakan-akan menjadi payung filosofis dari penerapan strategi, metode, dan keterampilan membelajarkan materi.
Untuk mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di tingkat Madrasah Ibtidaiyah, model pembelajaran yang tepat digunakan saat ini adalah Contextual Teaching & Learning (CTL) karena model ini bersifat holistik. Artinya, model ini melihat peserta didik tidak hanya dari sisi psikologi tetapi juga sosial dan neurofisik. Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
Dalam Contextual Teaching and Learning (CTL) diperlukan sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Disamping itu siswa belajar melalui mengalami bukan menghafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi oleh siswa. Dengan rasional tersebut pengetahuan selalu berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Dalam Contextual Teaching and Learning (CTL) ini bukan menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), akan tetapi lebih menekankan pada skenario pembelajarannya dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan peserta didik.

Comments